A. Murtad
Murtad menurut bahasa adalah kembali dari
sesuatu. Sedangkan menurut istilah syariat, murtad adalah kufurnya seorang
muslim dengan ucapan yang jelas (sharih), teks dan atau perbuatan yang
mengarahkan atau menunjukkan kepada kekufuran.[1]
Imam Nawawi secara
panjang menjelaskan dalam kitab Minhaj al-Thalibin:
)كتاب
الردة ( هي قطع الإسلام بنية أو قول
كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادا أو اعتقادا فمن نفى الصانع أو الرسل أو كذب
رسولا أو حلل محرما بالإجماع كالزنا أو عكسه أو نفى وجوب مجمع عليه أو عكسه أو عزم
على الكفر غدا أو تردد فيه كفر والفعل المكفر ما تعمده استهزاء صريحا بالدين او جحودا
له كإلقاء مصحف بقاذورة وسجود لصنم أو شمس
Dalam syariat Islam, menjadi kafir setelah
sebelumnya memeluk agama Islam, bukan perkara sederhana. Orang yang tadinya
muslim lalu berpindah atau kembali ke dalam agama lama, hukumnya murtad. Dan
orang yang murtad itu sudah dipastikan masuk neraka dan tidak akan keluar lagi
dari situ selama-lamanya, kecuali bila dia sempat bertaubat dan kembali ke
pangkuan Islam sebelum matinya.
Bukan itu saja, bahkan semua amal baiknya
selama sempat menjadi muslim akan musnah, seolah dia tidak pernah melakukan
hal-hal yang baik. Shalat, puasa, zakat, haji dan semua ibadahnya menjadi
hilang pahalanya.
Allah
Swt berfirman:
وَمَن
يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ )البقرة:217
(
Artinya:
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2: 217)
B. Syarat-syarat
murtad
Seseorang tidak bisa dihukumi murtad kecuali
saat dia telah memenuhi tiga syarat yaitu: (1) Baligh, (2), berakal, dan (3)
atas kehendak sendiri.[3]
C. Pembagian
Murtad
Murtad terbagi menjadi 4 bagian: [4]
1. Murtad
dengan keyakinan: adalah murtad yang tidak terlihat karena murtad jenis ini
tersimpan dalam hati, hanya pelaku dan Allah lah yang mengetahuinya. Contoh:
berkeyakinan bahwa Allah punya sekutu atau ada kekuasaan lain selain kuasa
Allah, menentang Allah atau apa-apa yang diperintahkan-Nya, menganggap tidak ada
salah satu dari sifat-sifat-Nya, meyakini bahwa Allah memiliki anak atau
keturunan[5], menentang Quran atau
sebagian dari al-Quran, dll.[6]
2. Murtad
dengan ucapan, misalnya: mengungkapkan apa yang ada pada point murtad keyakinan
di atas, mencaci Allah dan Rasul-rasul serta Nabi-nabi-Nya, dll.[7]
3. Murtad
dengan perbuatan, misalnya; bersujud kepada berhala, matahari dll.
4. Murtad
karena meninggalkan, misalnya: meninggalkan shalat, puasa, haji ketika sudah
memenuhi syarat karena membenci perintah wajibnya dll.[8]
D.
Penetapan Murtad
Seseorang bisa dihukumi murtad dengan salah
satu dari dua cara:[9]
1. Pengakuan
dari pelaku/tertuduh
2. Dengan
kesaksian, kesaksian yang dianggap cukup untuk menjatuhkan tuduhan bahwa
seseorang itu murtad, setidaknya harus:
a) Dilakukan
oleh dua orang saksi (ketentuan ini berdasarkan kesepakatan ulama)
b) Bentuk
kesaksian harus menjelaskan sisi-sisi (baik ucapan maupun perbuatan) yang
dianggap menyebabkan murtad.
Apabila orang yang dituduh ini menginkari kemurtadan
yang sudah disampaikan oleh para saksi, maka menurut madzhab Hanafi,
penginkaran tersebut dianggap sebagai pertaubatan dan kembali kepada Islam.
Sedangkan menurut Jumhur (mayoritas) ulama inkarnya tidak dianggap dan tetap
dihukumi murtad.[10]
E.
Pernikahan orang
yang murtad
Para Ulama sepakat bahwa ketika salah satu
dari suami istri ada yang murtad, maka bagi mereka haram melakukan kholwat
(berdua-duaan di tempat sepi), melakukan hubungan suami istri dan sejenisnya.
Dalam hal jatuh talak atau tidaknya, para ulama madzhab terjadi perbedaan
pendapat:[11]
1. Mazhab
Hanafi mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status
pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.[12]
2. Mazhab
Maliki memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka
statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan
kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu
kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah
ulang dari awal.[13]
3. Mazhab
Syafi’i menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka terjadi furqah
(cerai) di antara mereka berdua jika belum terjadi hubungan suami istri
(hubungan badan). Jika sudah terjadi hubungan suami istri, maka tidak terjadi
furqah kecuali sampai lewat masa iddah dan belum kembali kepada Islam. Dan bila
pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, maka mereka masih tetap
berstatus suami istri. Namun bila sampai lewat masa iddah sementara si murtad
tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai
tetapi fasakh.[14]
Bahkan Ulama sepakat bahwa orang yang
murtad, haram baginya menikahi perempuan muslim, perempuan kafir, maupun sesama
murtad. Sebab orang yang murtad adalah orang yang tidak beragama. Kemurtadannya
tidak lantas menjadikan dia masuk pada agama tertentu.[15]
F. Perwalian
dan waris murtad
Wali yang murtad, maka tidak lagi berhak
menjadi wali atas anaknya karena berbeda agama.[16] Begitu juga tidak bisa
mendapatkan warisan dari kerabat-kerabatnya yang muslim.[17] Adapun harta
peninggalannya ketika dia meninggal dalam keadaan murtad, maka:
1. Tidak
dapat diwaris oleh kerabatnya yang muslim, akan tetapi dikembalikan kepada
baitul maal, pendapat ini disuarakan oleh madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali.
2. Menurut
Madzhab Hanafi Harta yang didapatkan ketika masih Islam boleh diwarisi oleh
keluarga/kerabatnya yang muslim, sedangkan harta yang didapatkan setelah
murtad, maka dikembalikan kepada baitul maal.[18]
[1] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun
Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar
al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 180.
[2] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa Umdah al-Muftiin, (Beirut: Daar
al-Ma’rifah, tth), h. 131
[3] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun
Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar
al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 180.
[4] Ibid, 183.
[5] Ibid, 183.
[6] Ibid, 184.
[7] Ibid, 184-185.
[8] Zainuddin bin Abdul Aziz
al-Malibari, Fath al-Mu’in bihamisy I’anah al-Thalibin, (Semarang; Toha Putera,
tth), juz 1, h.23.
[9] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun
Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar
al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 191.
[10] Ibid. 192.
[11] Ibid. 198.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid. lihat juga Zakaria al-Anshari,
Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) juz 2, h. 78. dan Sayyid
al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibien, (Beirut: Daar al-Fikr, tth),
juz 3, h.351.
[15] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun
Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar
al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 198.
[16] Zakaria al-Anshari, Fath
al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1418 H) juz 2, h. 63
[17] Muhammad al-Khathib al-Syarbini, Mughni
al-Muhtaaj, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), juz 3, h. 24.
[18] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun
Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar
al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 198-199.
0 komentar:
Posting Komentar