Murtad dan Pernikahan

Rabu, 09 Mei 2018


A. Murtad
Murtad menurut bahasa adalah kembali dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah syariat, murtad adalah kufurnya seorang muslim dengan ucapan yang jelas (sharih), teks dan atau perbuatan yang mengarahkan atau menunjukkan kepada kekufuran.[1]
Imam Nawawi secara panjang menjelaskan dalam kitab Minhaj al-Thalibin:
)كتاب الردة ( هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادا أو اعتقادا فمن نفى الصانع أو الرسل أو كذب رسولا أو حلل محرما بالإجماع كالزنا أو عكسه أو نفى وجوب مجمع عليه أو عكسه أو عزم على الكفر غدا أو تردد فيه كفر والفعل المكفر ما تعمده استهزاء صريحا بالدين او جحودا له كإلقاء مصحف بقاذورة وسجود لصنم أو شمس
Artinya: “Kitab tentang murtad: Murtad adalah memutus Islam dengan niat, ucapan dan perbuatan kufur, baik itu dilakukan dengan unsur menjadikan lelucon, karena benci atau menentangnya, atau karena memang meyakininya. Barang siapa yang menganggap Allah (al-Shani’) atau Rasul-Nya tidak ada, Tidak mempercayai Rasul, menghalalkan perkara yang diharamkan secara ijma’, seperti zina, atau sebaliknya (yaitu mengharamkan perkara yang dihalalkan secara ijma’), meniadakan perkara yang wajib menurut kesepakatan ulama dan sebaliknya (mewajibkan perkara yang tidak dihukumi wajib secara ijma’), bermaksud akan kufur esok hari, atau ragu-ragu antara kafir dan tidak, maka semua itu dihukumi kafir (keluar dari Islam). Sedangkan perbuatan yang menjadikan seseorang kafir adalah apa yang disengaja dengan meremehkan/atau menjadikan gurauan suatu agama dengan jelas atau karena membenci/menentangnya, seperti membuang mushaf ke tempat-tempat yang kotor/menjijikkan, bersujud pada berhala atau matahari dll.” [2]
Dalam syariat Islam, menjadi kafir setelah sebelumnya memeluk agama Islam, bukan perkara sederhana. Orang yang tadinya muslim lalu berpindah atau kembali ke dalam agama lama, hukumnya murtad. Dan orang yang murtad itu sudah dipastikan masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari situ selama-lamanya, kecuali bila dia sempat bertaubat dan kembali ke pangkuan Islam sebelum matinya.
Bukan itu saja, bahkan semua amal baiknya selama sempat menjadi muslim akan musnah, seolah dia tidak pernah melakukan hal-hal yang baik. Shalat, puasa, zakat, haji dan semua ibadahnya menjadi hilang pahalanya.
Allah Swt berfirman:
وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ )البقرة:217 (
Artinya: “Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2: 217)
B. Syarat-syarat murtad
Seseorang tidak bisa dihukumi murtad kecuali saat dia telah memenuhi tiga syarat yaitu: (1) Baligh, (2), berakal, dan (3) atas kehendak sendiri.[3]
C. Pembagian Murtad
Murtad terbagi menjadi 4 bagian: [4]
1.  Murtad dengan keyakinan: adalah murtad yang tidak terlihat karena murtad jenis ini tersimpan dalam hati, hanya pelaku dan Allah lah yang mengetahuinya. Contoh: berkeyakinan bahwa Allah punya sekutu atau ada kekuasaan lain selain kuasa Allah, menentang Allah atau apa-apa yang diperintahkan-Nya, menganggap tidak ada salah satu dari sifat-sifat-Nya, meyakini bahwa Allah memiliki anak atau keturunan[5], menentang Quran atau sebagian dari al-Quran, dll.[6]
2.  Murtad dengan ucapan, misalnya: mengungkapkan apa yang ada pada point murtad keyakinan di atas, mencaci Allah dan Rasul-rasul serta Nabi-nabi-Nya, dll.[7]
3.  Murtad dengan perbuatan, misalnya; bersujud kepada berhala, matahari dll.
4.  Murtad karena meninggalkan, misalnya: meninggalkan shalat, puasa, haji ketika sudah memenuhi syarat karena membenci perintah wajibnya dll.[8]
D. Penetapan Murtad
Seseorang bisa dihukumi murtad dengan salah satu dari dua cara:[9]
1.     Pengakuan dari pelaku/tertuduh
2.     Dengan kesaksian, kesaksian yang dianggap cukup untuk menjatuhkan tuduhan bahwa seseorang itu murtad, setidaknya harus:
a)     Dilakukan oleh dua orang saksi (ketentuan ini berdasarkan kesepakatan ulama)
b)     Bentuk kesaksian harus menjelaskan sisi-sisi (baik ucapan maupun perbuatan) yang dianggap menyebabkan murtad.
Apabila orang yang dituduh ini menginkari kemurtadan yang sudah disampaikan oleh para saksi, maka menurut madzhab Hanafi, penginkaran tersebut dianggap sebagai pertaubatan dan kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Jumhur (mayoritas) ulama inkarnya tidak dianggap dan tetap dihukumi murtad.[10]
E.  Pernikahan orang yang murtad
Para Ulama sepakat bahwa ketika salah satu dari suami istri ada yang murtad, maka bagi mereka haram melakukan kholwat (berdua-duaan di tempat sepi), melakukan hubungan suami istri dan sejenisnya. Dalam hal jatuh talak atau tidaknya, para ulama madzhab terjadi perbedaan pendapat:[11]
1.    Mazhab Hanafi mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.[12]
2.    Mazhab Maliki memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal.[13]
3.    Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka terjadi furqah (cerai) di antara mereka berdua jika belum terjadi hubungan suami istri (hubungan badan). Jika sudah terjadi hubungan suami istri, maka tidak terjadi furqah kecuali sampai lewat masa iddah dan belum kembali kepada Islam. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, maka mereka masih tetap berstatus suami istri. Namun bila sampai lewat masa iddah sementara si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh.[14]
Bahkan Ulama sepakat bahwa orang yang murtad, haram baginya menikahi perempuan muslim, perempuan kafir, maupun sesama murtad. Sebab orang yang murtad adalah orang yang tidak beragama. Kemurtadannya tidak lantas menjadikan dia masuk pada agama tertentu.[15]
F.  Perwalian dan waris murtad
Wali yang murtad, maka tidak lagi berhak menjadi wali atas anaknya karena berbeda agama.[16] Begitu juga tidak bisa mendapatkan warisan dari kerabat-kerabatnya yang muslim.[17] Adapun harta peninggalannya ketika dia meninggal dalam keadaan murtad, maka:
1.     Tidak dapat diwaris oleh kerabatnya yang muslim, akan tetapi dikembalikan kepada baitul maal, pendapat ini disuarakan oleh madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali.
2.     Menurut Madzhab Hanafi Harta yang didapatkan ketika masih Islam boleh diwarisi oleh keluarga/kerabatnya yang muslim, sedangkan harta yang didapatkan setelah murtad, maka dikembalikan kepada baitul maal.[18]



[1] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 180.
[2] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa Umdah al-Muftiin, (Beirut: Daar al-Ma’rifah, tth), h. 131
[3] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 180.
[4] Ibid, 183.
[5] Ibid, 183.
[6] Ibid, 184.
[7] Ibid, 184-185.
[8] Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bihamisy I’anah al-Thalibin, (Semarang; Toha Putera, tth), juz 1, h.23.
[9] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 191.
[10] Ibid. 192.
[11] Ibid. 198.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid. lihat juga Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) juz 2, h. 78. dan Sayyid al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibien, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), juz 3, h.351.
[15] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 198.
[16] Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1418 H) juz 2, h. 63
[17] Muhammad al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaaj, (Beirut: Daar al-Fikr, tth), juz 3, h. 24.
[18] Wuzarah al-Wuquf Wa al-Syuun Al-Islamiyah, Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Daar al-Salasil, 1404-1427 H) Juz 22, h. 198-199.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
 
 

Total Tayangan Halaman

Apa pendapat anda tentang Blog Kang Nur?

 
Copyright © Blog Kang Nur