A.
Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam
1.
Pengertian Hadhanah (Hak Asuh Anak)
Hak asuh anak dalam bahasa arab
adalah hadhanah berasal dari kata hidhn (حِضن) yang berarti lambung. Karena seorang
pengasuh merangkul dan memeluk anak ke lambungnya.[1]
Ibnu Qasim al-Ghazi menyebutkan:[2]
(فصل) في أحكام الحَضَانة. وهي لغةً مأخوذة
من الحِضن بكسر الحاء، وهو الجنب لضم الحاضِنة الطفلَ إليه، وشرعًا حفظ من لا
يستقِلُّ بأمر نفسه عما يؤذيه لعدم تمييزه كطفل وكبير ومجنون
Artinya: “Fashl
menjelaskan tentang hukum-hukum hadhanah. hadhanah secara bahasa diambil dari
kata al hidln yang berarti lambung, karena
seorang pengasuh merangkul dan memeluk anak ke lambungnya. Menurut istilah syara’
hadhanah adalah menjaga atau melindungi seseorang yang tidak bisa mengurus
dirinya sendiri dari hal-hal yang mengganggunya dikarenakan belum tamyiz,
seperti anak kecil dan orang gila”.
Hukum dari hadhanah sendiri
adalah wajib, karena anak-anak yang masih membutuhkan asuhan akan terlantar
ketika ditinggalkan dan diterlantarkan oleh pengasuhnya. Mengabaikannya berarti
menghadapkannya pada kebinasaan.[4]
Imam al-Syirazi dalam kitab al-Muhaddzab mengatakan:[5]
إذا افترق الزوجان
ولهما ولد بالغ رشيد فله أن ينفرد عن أبويه لأنه مستغن عن الحضانة والكفالة
والمستحب أن لا ينفرد عنهما ولا يقطع بره عنهما وإن كانت جارية كره لها أن تنفرد
لأنها إذا انفردت لم يؤمن أن يدخل عليها من يفسدها وإن كان لهما ولد مجنون أو صغير
لا يميز وهو الذي له دون سبع سنين وجبت حضانته لأنه إن ترك حضانته ضاع وهلك.
Artinya: "Apabila telah berpisah
suami isteri sedangkan mereka mempunyai anak yang berakal dan baligh, maka
boleh anak tersebut memilih dari salah satu orang tuanya karena ia butuh kepada
pengasuhan. Tapi yang disunnahkan adalah hendaknya tidak terpisah dari keduanya
dan tidak terputus kebaktian mereka kepada keduanya. Jika anak tersebut
perempuan, maka makruh hukumnya menyendiri dari asuhan. Karena saat dia
menyendiri akan menjadi tidak aman saat ada orang yang hendak mencelakainya.
Jika kedua orang tua memiliki anak yang gila atau anak yang belum tamyiz, yaitu
anak di bawah usia tujuh tahun, maka wajib mengasuhnya karena jika diabaikan
akan menyebakan kebinasaan baginya”.
2.
Dasar hukum hadhanah
Dasar hukum mengenai hadhanah
adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا ۗ
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
Surat at-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”.
3.
Orang-orang yang mempunyai hak hadhanah
Dalam istilah fiqh digunakan kata
hadhin/hadhinah (حاضن/ حاضنة) yang berarti orang yang mengasuh dan juga mahdhun
(محضون) yang berarti orang atau anak yang diasuh. Ulama’ Fiqih berbeda
pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah. Sebagian ulama
berpendapat bahwa hadhanah adalah hak bagi hadhin/hadhinah,
maka disebut hak mengasuh. Pendapat ini adalah pendapat yang masyhur dari
Madzhab Abu Hanifah dan Malik dan menjadi pendapat dari madzhab lainnya.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadhanah adalah hak bagi mahdhun, maka
disebut hak mendapatkan asuhan sehingga jika anak atau orang yang diasuh
menggurkan haknya, maka hak tersebut menjadi tiada.[6]
Bagaimanapun juga, dari perbedaan pendapat tersebut jelas bahwa di dalam
hadhanah terkandung tiga macam hak: (1) hak hadhin/hadhinah, (2) hak mahdhun,
dan (3) hak bapak sebagi pemberi nafkah
atau orang yang menempati kedudukan bapak. Jika ketiga macam hak ini bisa
disesuaikan maka harus disesuaikan. Jika bertentangan antara satu dengan yang
lainnya maka wajib mendahulukan haknya mahdhun (anak/orang yang diasuh).
Dari ketentuan ini memunculkan cabang-cabang hukum sebagai berikut:[7]
a.
Apabila hadhin/hadhinah
enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka bisa dipaksa selama tidak ada yang
mewakili mereka mengasuh anak tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama’.
b.
Apabila
ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, maka ibu tidak boleh
dipaksa. Karena hadhanah
adalah haknya. Sedangkan mahdhun (anak/orang yang diasuh) tidak menjadi
terlantar/ binasa karena adanya orang lain yang mengasuhnya.
c.
Menurut Ulama’ Madzhab
Hanafi apabila istri menuntut khuluk pada suaminya dengan syarat meninggalkan
anak bersama suaminya, maka khuluknya sah tetapi syaratnya batal karena anak
berhak mendapat asuhan bersama ibu.
d.
Bapak tidak
diperbolehkan mengambil anaknya dari seseorang yang mendapatkan hak hadhanah
dan memberikannya kepada orang lain kecuali ada alasan-alasan syar’i yang
membolehkan.
e.
Jika orang yang menyusui
mahdhun bukan orang yang memiliki hak hadhanah, maka dia harus menyusi
di tempat hadhinah agar hak hak Hadhanah tidak hilang darinya.
4.
Urutan hadhin/hadhinah
(orang-orang yang memiliki hak hadhanah)
Para fuqaha menentukan urutan orang-orang yang memiliki hak hadhanah
mempertimbangkan kemashlahatan mahdhun (orang/anak yang diasuh).
Sehingga wanita lebih sesuai mengasuh anak karena dianggap lebih memiliki kasih
sayang, lebih cocok dalam urusan mendidik, lebih sabar dan lebih sering
menemani anak. Kemudian jika dari sekian orang-orang yang berhak mengasuh
terdapat beberapa orang yang sama-sama perempuan saja atau sama-sama lelaki
saja maka didahulukan yang lebih penyayang dan lebih dekat hubungan kerabatnya,
atau jika yang berhak semuanya hanya laki-laki saja maka didahulukan warits
ashabahnya. [8]
Dalam Fath al-Muin, Syekh Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibari menyebutkan
bahwa urutan-urutan orang yang memiliki hak hadhanah sebagai berikut:[9]
a.
Ibu
b.
Ibunya ibu (nenek)
sampai ke atas
c.
Bapak
d.
Ibunya bapak sampai
keatas
e.
Saudara perempuan
f.
Saudara perempuan ibu
g.
Anak perempuan dari
saudara perempuan
h.
Anak perempuan dari
saudara laki-laki
i.
Saudara perempuan ayah
Sedangkan anak yang sudah tamyiz (dalam kitab Fath
al-Qarib, Ibnu Qasim menyebutkan jika sudah berumur tujuh tahun) maka hak
hadhanah dikembalikan kepadanya sehingga diperkenankan memilih antara ayahnya
atau ibunya.
Dari urutan di atas menempatkan posisi ibu sebagi orang
paling layak segala-galanya dibandingkan bapak. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan:[10]
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه أن
امرأة قالت: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ابنى هذا كان بطنى له وعاء وحجرى
له حواء وثديى له سقاء وزعم أبوه أنه ينزعه منى فقال: أنت أحق به ما لم تنكحى
(أحرجه أحمد وأبو داود والبيهقى والحاكم وصححه).
Artinya:"Dari
Abdullah bin Umar r.a. bahwa seorang perempuan bertanya "ya Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang
menjadi minumnya dan pengkuanku yang memeluknya sedang bapaknya telah
menceraikan aku dan ia mengambilnya dariku" lalu Rasulullah Saw., bersabda
kepadanya "Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu selama engkau
belum menikah" (Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi,
Hakim dan dia menshahihkannya).
5.
Syarat-syarat orang yang
memiliki hak hadhanah
Orang yang akan mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat
yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan tugas sebagai
pengasuh anak. Maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa syarat
tersebut tidak ada maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak. Syarat tersebut adalah:
a.
Berakal sehat
Orang yang tidak memiliki akal sehat, misal orang yang
mengalami gangguan mental (gila) yang terus menerus dalam kegilaannya, maka
gugur hak hadhanahnya karena orang
yang gila tidak ada kesanggupan untuk memelihara dirinya sendiri. Adapun jika penyakit
gilanya hanya kambuh dalam waktu sebentar maka masih mendapatkan hak asuh,
misal selama setahun hanya sehari mengalami gangguan jiwa.[11]
b.
Merdeka
Budak tidak berhak sama sekali memiliki hak asuh walaupun tuannya memberi izin. Karena izin dari tuannya
sangat mungkin ditarik kembali sewaktu-waktu sehingga nasib anak menjadi
terlunta-lunta.[12]
c.
Islam
Jika mahdhun adalah seorang muslim, maka
disyaratkan bagi pengasuhnya harus seorang muslim pula. Namun jika mahdhun
adalah seorang kafir, bagi bagi pengasuh yang non muslim masih mendapatkan hak
asuhnya. Dalam hal ini ada 4 bentuk hadhanah: (1) Muslim mengasuh muslim, (2)
Non muslim mengasuh non muslim, (3) Muslim mengasuh non muslim, ketiga hadhanah
ini diperbolehkan sedangkan, (4) Non muslim mengasuh muslim, hukumnya dilarang.[13]
d.
Iffah dan amanah, atau
dalam bahasa lain disingkat dengkat istilah ‘adalah (adil)
Iffah sendiri berarti menjaga dari segala yang tidak
halal dan tidak terpuji, sedangkan amanah adalah kebalikan dari khianat. Kedua
hal ini ditakwil dengan sifat ‘adalah (adil) Kebalikan dari adil
adalah fasiq. Orang fasiq tidak dapat memiliki hak asuh karena dikhawatirkan
memberikan efek edukasi negatif kepada anak yang diasuhnya. Dalam hal ini dicukupkan
sifat adil secara lahiriah saja, tidak sampai mendalam. Namun jika terjadi
persengketaan dihadapan hakim harus digali sifat adil secara mendalam (‘adalah
al-bathinah) sampai ditetapkan putusannya oleh hakim.[14]
Namun dalam keterangan yang disampaikan oleh Ibnu Abidin, salah satu dari
madzhab Hanafi, dalam ketentuan yang tidak berhak menerima hak hadhanah, beliau
hanya membatasi fasiq yang tidak sampai menyia-nyiakan anak, dalam keterangan
ini ada titik korelasi dengan keterangan di atas yang di sebut fasiq
bathinah:
والحاصل أن الحاضنة إن كانت فاسقة فسقا
يلزم منه ضياع الولد عندها سقط حقها وإلا فهي أحق به إلى أن يعقل فينزع منها.
Artinya: “Kesimpulannya, jika hadhinah adalah seorang
yang memiliki sifat fasiq yang menyebabkan tersia-siakannya anak di sisinya,
maka hak hadhanah menjadi gugur darinya, jika tidak sampai menyebabkan
tersia-sia, maka hadhinah tetap berhak atas hadhanah anak sampai tampak kefasikannya, maka diperbolehkan mengajukan
gugatan darinya (di hadapan hakim)”.[15]
e.
Bermukim di daerah
tempat tinggal mahdhun.
Jika salah satu dari kedua orang tua mahdhun
melakukan safar atau berpindah tempat, maka hak hadhanahnya gugur dan
dilimpahkan kepada orangtuanya yang masih bermukim di daerah itu.
f.
Tidak kawin dengan orang
lain yang tidak memiliki hak hadhanah kepada mahdhun
Jika sang ibu setelah bercerai menikah dengan adik dari
mantan suaminya, maka hak Hadhanahnya tidak gugur karena adik dari mantan suami
masih memiliki hak hadhanah terhadap mahdhun.
6.
Upah hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah
dan upah menyusui. Selama ia masih menjadi istri dari
ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam iddah, karena dalam keadaan
tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal bependapat bahwa wanita yang mengasuh berhak
atas upah bagi pengasuhan yang diberikanya, baik dia berstatus ibu sendiri
maupun orang lain bagi anak itu. Imam Syafi’i menegaskan bahwa apabila ada anak
yang diasuh itu mempunyai harta sendiri, maka upah tersebut diambilkan dari
hartanya. Sedangkan bila tidak, upah itu merupakan tanggungjawab ayahnya atau
orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada si anak. Hal ini senada dalam
keterangan yang ada dalam Hasyiyah al-Bajuri:[16]
(ومؤنة الحضانة علىى من عليه نفقة الطفل) اى
او المجنون - الى ان قال – ومحل ذلك ما لم يكن له مال و الا فهى فى ماله
Artinya: “Biaya
hadhanah dibebankan atas orang yang wajib memberinya nafkah selagi mahdhun
(anak kecil yang belum tamyiz dan orang gila) tidak memiliki harta sendiri.
Jika mahdhun memiliki harta sendiri maka biaya hadhanah diambilkan dari harta
yang dimilikinya”.
7.
Waktu hadhanah
Dalam beberapa literatur fiqh sebagian ulama dalam membatasi kapan
berakhirnya hak Hadhanah menggunakan istilah samapai mencapai tamyiz, sebagian
lagi menggunakan istilah sampai mencapai usia tujuh tahun karena pada umumnya
usia tamyiz adalah saat anak sudah mencapi usia tujuh tahun. Namun sebenarnya
ketentuan substansinya adalah bahwa mahdhun sudah mumayyiz tanpa melihat usia.
Baik sudah mencapi umur tujuh tahun ataupun belum.[17]
Setelah anak sudah mumayyiz, maka hak hadhanah dikembalikan kepadanya dalam
arti baginya diperkanankan memilih untuk ikut bersama ayah atau ibunya. Ibnu
Rif’ah menjelaskan sekiranya anak tersebut sudah bisa mengerti sebab-sebab apa
dia harus menentukan pilihannya.[18]
Dalam sebuah hadits diriwayatkan: [19]
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ
أَبِيهِ وَأُمِّهِ.
Artinya: “Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Nabi Saw memperkenakan kepada
ghulam (anak laki-laki) untuk memilih antara (ikut) bapaknya atau ibunya”.
Dalam pembahasan kandungan hadits ini anak perempuan
disamakan dengan anak laki-laki.
Adapun mengenai tanda-tanda tamyiz, al-Bajuri menguraikan sekira anak sudah
bisa makan minum sendiri sendiri, tidur sendiri, istinja sendiri dan
seterusnya.[20]
[1] Muhammad ibn Qasim, Fath al-Qarib
al-Mujib, (Beirut: Daar Ibn Hazm, 2005), Juz 1, h. 263.
[3] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa
Adillatuhu, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt), Juz 10, h. 43.
[5] Al-Syirazi, al-Muhaddzab, (Lebanon:
Daar al-Kutub Alamiyah, tt) Juz 2, h. 164.
[6] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa
Adillatuhu, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt), Juz 10, h, 44.
[9] Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Muin bi
Hamisy I’anah al-Thalibin, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), Juz 4, h. 101-102
[11] Ibn Qasim, Fath
al-Qarib al-Mujib bi hamisy Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi
(Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 197.
[12] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 197.
[15] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar,
(Beirut: daar al-Fikr, 1992) Juz 3, h. 557.
[16] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim
al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 195.
[17] Ibn Qasim, Fath
al-Qarib al-Mujib bi hamisy Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi
(Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.
[18] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim
al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.
[19] Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sunan
al-Kubra, (India: Majlis Dairat al-ma’arif al-nizhamiyah, 1344H), Juz 8,
h.3.
[20]
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.
0 komentar:
Posting Komentar