HADHANAH (HAK ASUH ANAK) MENURUT HUKUM ISLAM

Rabu, 09 Mei 2018


A.   Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam
1.   Pengertian Hadhanah (Hak Asuh Anak)
Hak asuh anak dalam bahasa arab adalah hadhanah berasal dari kata hidhn (حِضن) yang berarti lambung. Karena seorang pengasuh merangkul dan memeluk anak ke lambungnya.[1] Ibnu Qasim al-Ghazi menyebutkan:[2]
(فصل) في أحكام الحَضَانة. وهي لغةً مأخوذة من الحِضن بكسر الحاء، وهو الجنب لضم الحاضِنة الطفلَ إليه، وشرعًا حفظ من لا يستقِلُّ بأمر نفسه عما يؤذيه لعدم تمييزه كطفل وكبير ومجنون
Artinya: “Fashl menjelaskan tentang hukum-hukum hadhanah. hadhanah secara bahasa diambil dari kata al hidln yang berarti lambung, karena seorang pengasuh merangkul dan memeluk anak ke lambungnya. Menurut istilah syara’ hadhanah adalah menjaga atau melindungi seseorang yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri dari hal-hal yang mengganggunya dikarenakan belum tamyiz, seperti anak kecil dan orang gila”.
Dr Wahbah Zuhaili dalam kitabnya menjelaskan bahwa hadhanah menurut syara’ adalah merawat dan mendidik anak bagi orang-orang yang memiliki hak hadhanah, atau mendidik dan melindungi anak atau orang yang belum bisa mengurus diri sendiri dari hal-hal yang menggangunya karena belum tamyiz (seperti anak kecil dan orang gila) dengan menjaga dan memenuhi keperluannya, makanannya, pakaiannya, tidurnya, mandinya, mencuci pakaiannya pada dan sampai batas usia tertentu.[3]
Hukum dari hadhanah sendiri adalah wajib, karena anak-anak yang masih membutuhkan asuhan akan terlantar ketika ditinggalkan dan diterlantarkan oleh pengasuhnya. Mengabaikannya berarti menghadapkannya pada kebinasaan.[4]
Imam al-Syirazi dalam kitab al-Muhaddzab mengatakan:[5]
إذا افترق الزوجان ولهما ولد بالغ رشيد فله أن ينفرد عن أبويه لأنه مستغن عن الحضانة والكفالة والمستحب أن لا ينفرد عنهما ولا يقطع بره عنهما وإن كانت جارية كره لها أن تنفرد لأنها إذا انفردت لم يؤمن أن يدخل عليها من يفسدها وإن كان لهما ولد مجنون أو صغير لا يميز وهو الذي له دون سبع سنين وجبت حضانته لأنه إن ترك حضانته ضاع وهلك.
Artinya: "Apabila telah berpisah suami isteri sedangkan mereka mempunyai anak yang berakal dan baligh, maka boleh anak tersebut memilih dari salah satu orang tuanya karena ia butuh kepada pengasuhan. Tapi yang disunnahkan adalah hendaknya tidak terpisah dari keduanya dan tidak terputus kebaktian mereka kepada keduanya. Jika anak tersebut perempuan, maka makruh hukumnya menyendiri dari asuhan. Karena saat dia menyendiri akan menjadi tidak aman saat ada orang yang hendak mencelakainya. Jika kedua orang tua memiliki anak yang gila atau anak yang belum tamyiz, yaitu anak di bawah usia tujuh tahun, maka wajib mengasuhnya karena jika diabaikan akan menyebakan kebinasaan baginya”.
2.   Dasar hukum hadhanah
Dasar hukum mengenai hadhanah adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Surat at-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
3.   Orang-orang yang mempunyai hak hadhanah
Dalam istilah fiqh digunakan kata hadhin/hadhinah (حاضن/ حاضنة) yang berarti orang yang mengasuh dan juga mahdhun (محضون) yang berarti orang atau anak yang diasuh. Ulama’ Fiqih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadhanah adalah hak bagi hadhin/hadhinah, maka disebut hak mengasuh. Pendapat ini adalah pendapat yang masyhur dari Madzhab Abu Hanifah dan Malik dan menjadi pendapat dari madzhab lainnya. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadhanah adalah hak bagi mahdhun, maka disebut hak mendapatkan asuhan sehingga jika anak atau orang yang diasuh menggurkan haknya, maka hak tersebut menjadi tiada.[6]
Bagaimanapun juga, dari perbedaan pendapat tersebut jelas bahwa di dalam hadhanah terkandung tiga macam hak: (1) hak hadhin/hadhinah, (2) hak mahdhun, dan (3) hak bapak sebagi  pemberi nafkah atau orang yang menempati kedudukan bapak. Jika ketiga macam hak ini bisa disesuaikan maka harus disesuaikan. Jika bertentangan antara satu dengan yang lainnya maka wajib mendahulukan haknya mahdhun (anak/orang yang diasuh). Dari ketentuan ini memunculkan cabang-cabang hukum sebagai berikut:[7]
a.     Apabila hadhin/hadhinah enggan untuk mengasuh anaknya, maka mereka bisa dipaksa selama tidak ada yang mewakili mereka mengasuh anak tersebut. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama’.
b.    Apabila ada wanita lain yang berhak mengasuh anak tersebut, maka ibu tidak boleh dipaksa. Karena hadhanah adalah haknya. Sedangkan mahdhun (anak/orang yang diasuh) tidak menjadi terlantar/ binasa karena adanya orang lain yang mengasuhnya.
c.     Menurut Ulama’ Madzhab Hanafi apabila istri menuntut khuluk pada suaminya dengan syarat meninggalkan anak bersama suaminya, maka khuluknya sah tetapi syaratnya batal karena anak berhak mendapat asuhan bersama ibu.
d.    Bapak tidak diperbolehkan mengambil anaknya dari seseorang yang mendapatkan hak hadhanah dan memberikannya kepada orang lain kecuali ada alasan-alasan syar’i yang membolehkan.
e.     Jika orang yang menyusui mahdhun bukan orang yang memiliki hak hadhanah, maka dia harus menyusi di tempat hadhinah agar hak hak Hadhanah tidak hilang darinya.

4.   Urutan hadhin/hadhinah (orang-orang yang memiliki hak hadhanah)
Para fuqaha menentukan urutan orang-orang yang memiliki hak hadhanah mempertimbangkan kemashlahatan mahdhun (orang/anak yang diasuh). Sehingga wanita lebih sesuai mengasuh anak karena dianggap lebih memiliki kasih sayang, lebih cocok dalam urusan mendidik, lebih sabar dan lebih sering menemani anak. Kemudian jika dari sekian orang-orang yang berhak mengasuh terdapat beberapa orang yang sama-sama perempuan saja atau sama-sama lelaki saja maka didahulukan yang lebih penyayang dan lebih dekat hubungan kerabatnya, atau jika yang berhak semuanya hanya laki-laki saja maka didahulukan warits ashabahnya. [8]
Dalam Fath al-Muin, Syekh Zainuddin bin Abdul Azizi al-Malibari menyebutkan bahwa urutan-urutan orang yang memiliki hak hadhanah sebagai berikut:[9]
a.     Ibu
b.    Ibunya ibu (nenek) sampai ke atas
c.     Bapak
d.    Ibunya bapak sampai keatas
e.     Saudara perempuan
f.      Saudara perempuan ibu
g.     Anak perempuan dari saudara perempuan
h.    Anak perempuan dari saudara laki-laki
i.      Saudara perempuan ayah
Sedangkan anak yang sudah tamyiz (dalam kitab Fath al-Qarib, Ibnu Qasim menyebutkan jika sudah berumur tujuh tahun) maka hak hadhanah dikembalikan kepadanya sehingga diperkenankan memilih antara ayahnya atau ibunya.
Dari urutan di atas menempatkan posisi ibu sebagi orang paling layak segala-galanya dibandingkan bapak. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:[10]
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه أن امرأة قالت: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ابنى هذا كان بطنى له وعاء وحجرى له حواء وثديى له سقاء وزعم أبوه أنه ينزعه منى فقال: أنت أحق به ما لم تنكحى (أحرجه أحمد وأبو داود والبيهقى والحاكم وصححه).
Artinya:"Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa seorang perempuan bertanya "ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan susuku yang menjadi minumnya dan pengkuanku yang memeluknya sedang bapaknya telah menceraikan aku dan ia mengambilnya dariku" lalu Rasulullah Saw., bersabda kepadanya "Engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu selama engkau belum menikah" (Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi, Hakim dan dia menshahihkannya).
5.   Syarat-syarat orang yang memiliki hak hadhanah
Orang yang akan mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan si anak, mampu melaksanakan tugas sebagai pengasuh anak. Maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa syarat tersebut tidak ada maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak. Syarat tersebut adalah:
a.     Berakal sehat
Orang yang tidak memiliki akal sehat, misal orang yang mengalami gangguan mental (gila) yang terus menerus dalam kegilaannya, maka gugur hak hadhanahnya karena orang yang gila tidak ada kesanggupan untuk memelihara dirinya sendiri. Adapun jika penyakit gilanya hanya kambuh dalam waktu sebentar maka masih mendapatkan hak asuh, misal selama setahun hanya sehari mengalami gangguan jiwa.[11]
b.    Merdeka
Budak tidak berhak sama sekali memiliki hak asuh walaupun tuannya memberi izin. Karena izin dari tuannya sangat mungkin ditarik kembali sewaktu-waktu sehingga nasib anak menjadi terlunta-lunta.[12]
c.     Islam
Jika mahdhun adalah seorang muslim, maka disyaratkan bagi pengasuhnya harus seorang muslim pula. Namun jika mahdhun adalah seorang kafir, bagi bagi pengasuh yang non muslim masih mendapatkan hak asuhnya. Dalam hal ini ada 4 bentuk hadhanah: (1) Muslim mengasuh muslim, (2) Non muslim mengasuh non muslim, (3) Muslim mengasuh non muslim, ketiga hadhanah ini diperbolehkan sedangkan, (4) Non muslim mengasuh muslim, hukumnya dilarang.[13]
d.    Iffah dan amanah, atau dalam bahasa lain disingkat dengkat istilah ‘adalah (adil)
Iffah sendiri berarti menjaga dari segala yang tidak halal dan tidak terpuji, sedangkan amanah adalah kebalikan dari khianat. Kedua hal ini ditakwil dengan sifat ‘adalah (adil) Kebalikan dari adil adalah fasiq. Orang fasiq tidak dapat memiliki hak asuh karena dikhawatirkan memberikan efek edukasi negatif kepada anak yang diasuhnya. Dalam hal ini dicukupkan sifat adil secara lahiriah saja, tidak sampai mendalam. Namun jika terjadi persengketaan dihadapan hakim harus digali sifat adil secara mendalam (‘adalah al-bathinah) sampai ditetapkan putusannya oleh hakim.[14] Namun dalam keterangan yang disampaikan oleh Ibnu Abidin, salah satu dari madzhab Hanafi, dalam ketentuan yang tidak berhak menerima hak hadhanah, beliau hanya membatasi fasiq yang tidak sampai menyia-nyiakan anak, dalam keterangan ini ada titik korelasi dengan keterangan di atas yang di sebut fasiq bathinah:
والحاصل أن الحاضنة إن كانت فاسقة فسقا يلزم منه ضياع الولد عندها سقط حقها وإلا فهي أحق به إلى أن يعقل فينزع منها.
Artinya: “Kesimpulannya, jika hadhinah adalah seorang yang memiliki sifat fasiq yang menyebabkan tersia-siakannya anak di sisinya, maka hak hadhanah menjadi gugur darinya, jika tidak sampai menyebabkan tersia-sia, maka hadhinah tetap berhak atas hadhanah anak sampai tampak  kefasikannya, maka diperbolehkan mengajukan gugatan darinya (di hadapan hakim)”.[15]
e.     Bermukim di daerah tempat tinggal mahdhun.
Jika salah satu dari kedua orang tua mahdhun melakukan safar atau berpindah tempat, maka hak hadhanahnya gugur dan dilimpahkan kepada orangtuanya yang masih bermukim di daerah itu.
f.      Tidak kawin dengan orang lain yang tidak memiliki hak hadhanah kepada mahdhun
Jika sang ibu setelah bercerai menikah dengan adik dari mantan suaminya, maka hak Hadhanahnya tidak gugur karena adik dari mantan suami masih memiliki hak hadhanah terhadap mahdhun.
6.   Upah hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan upah menyusui. Selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal bependapat bahwa wanita yang mengasuh berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikanya, baik dia berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anak itu. Imam Syafi’i menegaskan bahwa apabila ada anak yang diasuh itu mempunyai harta sendiri, maka upah tersebut diambilkan dari hartanya. Sedangkan bila tidak, upah itu merupakan tanggungjawab ayahnya atau orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada si anak. Hal ini senada dalam keterangan yang ada dalam Hasyiyah al-Bajuri:[16]
(ومؤنة الحضانة علىى من عليه نفقة الطفل) اى او المجنون - الى ان قال – ومحل ذلك ما لم يكن له مال و الا فهى فى ماله
Artinya: “Biaya hadhanah dibebankan atas orang yang wajib memberinya nafkah selagi mahdhun (anak kecil yang belum tamyiz dan orang gila) tidak memiliki harta sendiri. Jika mahdhun memiliki harta sendiri maka biaya hadhanah diambilkan dari harta yang dimilikinya”.
7.   Waktu hadhanah
Dalam beberapa literatur fiqh sebagian ulama dalam membatasi kapan berakhirnya hak Hadhanah menggunakan istilah samapai mencapai tamyiz, sebagian lagi menggunakan istilah sampai mencapai usia tujuh tahun karena pada umumnya usia tamyiz adalah saat anak sudah mencapi usia tujuh tahun. Namun sebenarnya ketentuan substansinya adalah bahwa mahdhun sudah mumayyiz tanpa melihat usia. Baik sudah mencapi umur tujuh tahun ataupun belum.[17]
Setelah anak sudah mumayyiz, maka hak hadhanah dikembalikan kepadanya dalam arti baginya diperkanankan memilih untuk ikut bersama ayah atau ibunya. Ibnu Rif’ah menjelaskan sekiranya anak tersebut sudah bisa mengerti sebab-sebab apa dia harus menentukan pilihannya.[18]
Dalam sebuah hadits diriwayatkan: [19]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ.
Artinya: “Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Nabi Saw memperkenakan kepada ghulam (anak laki-laki) untuk memilih antara (ikut) bapaknya atau ibunya”.
Dalam pembahasan kandungan hadits ini anak perempuan disamakan dengan anak laki-laki.
Adapun mengenai tanda-tanda tamyiz, al-Bajuri menguraikan sekira anak sudah bisa makan minum sendiri sendiri, tidur sendiri, istinja sendiri dan seterusnya.[20]  




[1] Muhammad ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib, (Beirut: Daar Ibn Hazm, 2005), Juz 1, h. 263.
[2] Ibid.
[3] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt), Juz 10, h. 43.
[4] Ibid.
[5] Al-Syirazi, al-Muhaddzab, (Lebanon: Daar al-Kutub Alamiyah, tt) Juz 2, h. 164.
[6] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt), Juz 10, h, 44.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Muin bi Hamisy I’anah al-Thalibin, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), Juz 4, h. 101-102
[10] Al-Khatabi, Ma'alim al-Sunan, (Lebanon: Al-Mathba'ah Al-Alamiyyah, 1993) Juz. 3, h. 282.
[11] Ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib bi hamisy Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 197.
[12] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 197.
[13] Ibid.
[14] Ibid. H. 198.
[15] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, (Beirut: daar al-Fikr, 1992) Juz 3, h. 557.
[16] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 195.
[17] Ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib bi hamisy Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.
[18] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.
[19] Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, (India: Majlis Dairat al-ma’arif al-nizhamiyah, 1344H), Juz 8, h.3.
[20] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi (Surabaya: al-Hidayah, tt) Juz 2, h. 196.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
 
 

Total Tayangan Halaman

Apa pendapat anda tentang Blog Kang Nur?

 
Copyright © Blog Kang Nur